Rabu, 07 Juli 2010

Konsep Jamak dalam Bahasa Indonesia


KONSEP JAMAK DALAM BAHASA INDONESIA

Ening Herniti
Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga

ABSTRACT

Every language has its own type of numeral concepts. The languages also have their own strategies in marking plurality form. To express the sense, Indonesian language uses form of reduplication, numerals or quantifiers stated with the nouns. In addition, the verb in the sentence also affects the concept of singularity and plurality. The existence of plurality of meaning in the Indonesian language is always related to the context in the sentence. The determination of the meaning of a word is not possible without placing it in context. The concept of plural in the Indonesian language is realized at the word, phrase, and the clause or sentence  level. In addition, there are some plurality markers in the Indonesian language.

Keywords: jamak, makna, pemarkah, bahasa Indonesia.

A. Pendahuluan
Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berdasarkan konsep ketaktunggalannya (jamak) digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu (1) bahasa yang tidak mengenal dualis maupun trialis, yakni bahasa yang memiliki ketaktunggalan yang bermakna lebih dari satu, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; (2) bahasa yang mengenal dualis, tetapi tidak mengenal trialis, yakni bahasa yang memiliki ketaktunggalan yang bermakna lebih dari dua seperti bahasa Arab; (3) bahasa yang mengenal trialis, yakni bahasa yang memiliki ketaktunggalan yang bermakna lebih dari tiga, seperti bahasa Fiji.
Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah tertentu yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah.
Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk jamak (bentuk kata yang menyatakan lebih dari satu atau banyak) dan tunggal seperti dalam bahasa Arab, bahasa Perancis,  dan bahasa Inggris. Artinya, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bajus (jamak dari kata baju), temans (jamak dari teman), dan kursis (jamak dari kursi), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa Indonesia.
Untuk menyatakan pengertian jamak dalam bahasa Indonesia dipergunakan bentuk perulangan (reduplikasi), kata bilangan (numeralia), atau bentuk kata yang menyatakan jamak. Contoh kata buku, kata itu mempunyai pengertian yang netral mempunyai bentuk jamak buku-buku , tiga buku, atau banyak buku. Di samping itu, verba di dalam kalimat juga mempengaruhi konsep ketunggalan dan kejamakan.      

B. Konsep Jamak dalam Bahasa Indonesia
Berkaitan dengan kategori jumlah, Matthews membuktikan bahwa bentuk-bentuk jamak memperlihatkan ciri bentuk yang khas karena aspek semantiknya mempunyai penanda (semantically marked). Pengulangan nomina dalam bahasa Indonesia merupakan cara yang paling eksplisit untuk menyatakan ‘kejamakan’. Di samping itu, pengulangan adjektiva tertentu juga akan mengandung makna jamak.[1]
Adanya makna kejamakan dalam bahasa Indonesia selalu berkaitan dengan konteks dalam kalimat. Penentuan makna suatu kata tidak mungkin tanpa menempatkannya dalam konteks. Ramlan berpendapat bahwa makna unsur pengisi suatu fungsi sintaksis berkaitan dengan makna yang dinyatakan oleh unsur pengisi fungsi yang lain.[2]
Menurut Sudaryanto bahwa fungsi predikat (p) yang lazimnya diisi oleh verba, dianggap sebagai unsur paling inti dalam suatu klausa. Sejumlah verba atau adjektiva tertentu yang mengisi fungsi P dapat menjadi petunjuk atau penentu bahwa argumen yang bervalensi dengannya menuntut kejamakan.[3]
Pada dasarnya konsep jamak di berbagai bahasa itu berciri semesta walaupun dalam merealisasikannya berbeda-beda. Konsep jamak dalam bahasa Indonesia direalisasikan pada tataran kata, tataran frasa, dan tataran klausa. Di samping itu, ada beberapa pemarkah kejamakan dalam bahasa Indonesia.

1. Konsep Jamak Pada Tataran Kata
            Konsep jamak dalam bahasa Indonesia dapat direaliasikan dalam tataran kata. Pada tataran kata yang menjadi pemarkah jamak adalah reduplikasi utuh, reduplikasi bervariasi fonem, leksem berciri jamak, dan pronomina jamak.
Simatupang berpendapat bahwa reduplikasi dapat menyatakan kejamakan bila reduplikasi tersebut dibentuk dari bentuk dasar nomina dengan reduplikasi penuh, reduplikasi pada nomina dengan atribut adjektiva yang disisipi yang, reduplikasi pada kata benda dengan atribut kata bilangan atau kata jumlah.[4] Hal ini senada dengan dengan pendapat Bauer bahwa reduplication is frequently used to indicate plurality.[5]


1.1 Pemarkah Jamak dengan Reduplikasi Utuh
Bentuk reduplikasi yang dapat menjadi pemarkah jamak adalah sejenis reduplikasi yang cenderung bersenyawa denga bentuk dasar nomina berciri + HITUNG (countable nouns). Untuk lebih jelasnya cermati contoh berikut.
(1)   Partai-partai baru agaknya dapat memberikan angin segar atau sedikit harapan.
(2)   Mansori berseru, “singkirkan orang-orang non-PNI dari tubuh PDI Perjuangan”.
Kejamakan nomina partai dan orang pada partai-partai dan orang-orang dihasilkan oleh adanya gramatikal antara nomina partai dan orang sebagai bentuk dasar dengan  partai-partai dan  orang-orang sebagai morfem ulang (morfem reduplikasi). Hubungan semacam ini mengakibatkan makna jamak pada tataran kata yang berupa nomina partai dan orang.
Dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah kata yang menunjuk pengertian jamak. Jamak artinya berjumlah lebih dari satu. Jamak dapat dinyatakan dalam bentuk pengulangan nomina atau dengan menambahkan bentuk kata tertentu, seperti semua, para, dan banyak. Penggunaan kata penunjuk jamak tersebut terkadang masih tidak tepat. Dalam kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, morfem . Pada kenyataan berbahasa, banyak ditemukan penggunaan bentuk jamak yang tumpang tindih atau mubazir. Perhatikan contoh berikut.
(1a) Semua partai-*partai baru agaknya dapat memberikan angin segar atau sedikit harapan.
Seharusnya:
(1b) Semua partai baru agaknya dapat memberikan angin segar atau sedkitnya harapan.
(2a) Mansori berseru, “singkirkan semua orang-*orang non-PNI dari tubuh PDI Perjuangan”.
Seharusnya:
(2b) Mansori berseru, “singkirkan semua orang non-PNI dari tubuh PDI Perjuangan”.
Kejamakan pada partai-partai dan orang-orang juga dapat ditunjukkan dengan memberikan pemarkah tunggal sebuah atau satu.
(1c) *[6]Sebuah partai-partai baru agaknya dapat memberikan angin segar atau sedikitnya harapan.
(2c) *Mansori berseru, “singkirkan satu orang-orang non-PNI dari tubuh PDI Perjuangan”.
Ketidakgramatikalan kalimat (1c) dan (2c) karena partai-partai dan orang-orang menunjukkan makna jamak sehingga tidak dapat dilekati oleh pemarkah tunggal.

1.2 Pemarkah Jamak dengan Reduplikasi Bervariasi Fonem
Pemarkah lain sebagai penanda jamak dalam bahasa Indonesia adalah reduplikasi bervariasi fonem. Hal ini tampak dalam contoh berikut.
(3)   Aku kembali kemari karena di tengah jalan secara tidak sengaja melihat orang berpakaian biru berjanggut biru dengan gerak-gerik mencurigakan.
Reduplikasi bervariasi fonem gerak-gerik bermakna jamak karena jika dilekati pemarkah tunggal akan tidak gramatikal.
(3a) Aku kembali kemari karena di tengah jalan secara tidak sengaja melihat orang berpakaian biru berjanggut biru dengan satu gerak-gerik mencurigakan.

1. 3 Leksem Berkonsep Jamak
Leksem yang bermakna jamak yang dimaksud di sini adalah kata yang telah bermakna jamak meskipun tanpa pemarkah jamak.
(4)   Aksi massa yang terjadi selama ini telah memakan korban jiwa.
(5)   Winter memang pernah menjadi sorotan utama publik.
(6)   Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan.
(7)   Alumni UIN Sunan Kalijaga mendapat tempat di hati masyarakat.
Leksem massa, publik, masyarakat, dan alumni pada contoh di atas sudah mempunyai makna jamak meskipun tanpa pemarkah jamak. Kejamakan leksem massa, publik, masyarakat, dan alumni dapat terlihat bila dimarkahi bentuk tunggal seperti kalimat berikut.
(4a) *Aksi sebuah massa yang terjadi selama ini telah memakan korban jiwa.
(5a) *Winter memang pernah menjadi sorotan utama sebuah publik.
(6a) *Sebuah Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan.
(7a) *Seorang alumni UIN Sunan Kalijaga mendapat tempat di hati masyarakat.
Kalimat (4a), (5a), (6a), dan (7a) tidak gramatikal karena massa, publik, masyarakat, dan alumni yang telah menunjukkan makna jamak sehingga tidak dapat dilekati dengan pemarkah tunggal. Makna alumni sering kali dikacaukan dengan kata alumnus padahal alumni bermakna jamak, yakni orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau mempunyai pengertian orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Alumni adalah bentuk jamak dari alumnus. Alumni menunjukkan banyak orang sedangkan alumnus adalah bentuk tunggal yang menunjukkan satu orang saja. Dengan kata lain, alumni adalah para alumnus atau kumpulan alumnus.
Jadi, kalimat (7) akan menjadi gramatikal jika diubah sebagai berikut.
(7b) Seorang alumnus UIN Sunan Kalijaga mendapat tempat di hati masyarakat.
(7c) Para  alumnus UIN Sunan Kalijaga mendapat tempat di hati masyarakat.

1.4 Pronomina Jamak
Dalam bahasa Indonesia terdapat kata ganti orang yang telah menujukkan makna jamak, seperti kata kalian, mereka, kita, dan kami. Untuk lebih jelasnya tampak pada contoh berikut.
(8)       “Apakah kalian sudah menyampaikan pesan guru?” tanya Si Janggut Biru
(9)        Bagaimana mereka tahu kalau dia membawa peta pelaga emas?
(10)   Kita harus membantu korban Merapi.
(11)   Kami sangat menyesal mengapa hal itu sampai terjadi pada kalian.

Rabu, 03 Februari 2010

Pengertian Filsafat Bahasa


Bab I
Pengertian Filsafat Bahasa

A. Pendahuluan
Filsafat bahasa hadir dalam dunia filsafat merupakan pendatang baru. Filsafat bahasa baru berkembang sekitar abad XX setelah munculnya linguistik modern yang dipelopori oleh tokoh strukturalis yaitu Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913). Sebenarnya perhatian para filsuf terhadap bahasa telah berlangsung lama, yakni sejak zaman prasocrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Namun, dalam perjalanan sejarah aksentuasi (titik tekan) perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat bergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan bahasa karena banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat yang hanya dapat dijelaskan melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat.
Filsafat bahasa merupakan studi filsafati berdasarkan nilai apriori atau aposteriori dari bahasa dan bagaimana bahasa itu dijadikan sebagai alat komunikasi. Filsafat bahasa sebagai studi analisis filsafati, pemaknaan bersifat objektif dan subjektif. Bersifat objektif, apabila makna yang diungkap merupakan makna yang dikandung secara leksikal/denotasi dalam sebuah wacana lisan atau tulisan. Bersifat subjektif, apabila makna yang diungkap ada dalam mata si pembaca dan merupakan makna kontekstual, yaitu apa yang ada di balik makna kata tersebut/konteks.  

B. Pengertian Filsafat
1. Secara Etimologi
Secara etimologi, istilah filsafat merupakan derivasi dari kata “falsafah” (bahasa Arab) yang diadopsi dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “Philoshopia” yang terbentuk dari dua kata; “philien/philo” yang berarti cinta dan “shopia” yang berarti kebijaksanaan; pengetahuan. Secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan orangnya disebut “filosof”. Orang yang pertama kali memakai kata “filsafat” adalah Phytaghoras, filosof Yunani (582-496 SM).

Secara etimologis filsafat berarti :
1.                  cinta akan kebenaran
2.                  suatu dorongan terus-menerus untuk mencari dan mengejar kebenaran

2. Secara Terminolagi
Pengertian Filsafat dari beberapa ahli adalah sebagai berikut.
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia  (1997:227)
1).       Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan, pemikiran, pengetahuan, dan sifat alam semesta
2).       Prinsip-prinsip umum tentang suatu bidang pengetahuan
3).       Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi
4).       Suatu cara berpikir yang radikal, menyeluruh, dan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya
Akal budi adalah mencakup keseluruhan kemampuan yang spesifik manusiawi, yakni daya cipta, karsa, dan rasa. Filsafat mengkaji hakikat segala yang ada di dunia ini, baik dari manusia maupun sendiri maupun benda di sekitarnya.

b. Plato (427-347 SM):
Plato (427sm – 347 SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli). Filsafat adalah ilmu yang berbicara tentang hakikat sesuatu.

c. Aristoteles (Murid Plato)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi logika, matematika, metafisika, fisika, dan pengetahuan praksis.
Aristoteles (384 sm – 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmus pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

d. Marcus tullius cicero (106 sm – 43sm), politikus dan ahli pidato Romawi.
Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

e. Al-Farabi (Filosof muslim terbesar sebelum Ibnu Sina yang meninggal 950 M)
Filsafat adalah ilmu:yang bertugas untuk mengetahui semua yang ada karena ia ada. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

f. Imanuel Kant (1724-1804), filosof abad renainses dari Jerman:
Filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai pokok pangkal dari segala perbuatan dan pengetahuan. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ”sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).

g. Prof. Dr. Fuad hasan, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia
Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan.

h. Bertrand Russel:
Filsafat ialah kegiatan berpikir kritis yang bersifat serius. Fungsi filsafat bagi Russel sebagai pengkritik pengetahuan, mengkritisi asas-asas ilmu pengetahuan. Ia mengatakan filsafat adalah menjawab pertanyaan tinggi (sulit) yang tidak dapat dijawab oleh sains. Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains.

i. William James:
Filsafat adalah kumpulan pertanyaan yang belum terjawab oleh sains secara memuaskan.

j. Fung Yu Lan:
Filsafat adalah pikiran sistematis dan merupakan refleksi tentang kehidupan.
Dalam khazanah keilmuan Islam pengertian filsafat disejajarkan dengan pengertian “Hikmah”. Bagi dunia Islam filsafat adalah hikmah itu sendiri. Seperti yang dikatakana oleh Ibn Abbas hikmah adalah ucapan yang rasional yang dipelihara oleh kekuatan empirik. Meskipun pengertian filsafat yang diberikan oleh para ahli filsafat baik Barat maupun Timur, klasik maupun modern berbeda-beda, namun dari semua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan yang mengarahkan pada kesamaan pengertian filsafat:
1. filsafat merupakan proses pencarian kebenaran.
2. filsafat merupakan proses berfikir yang mendalam
3. filsafat adalah pencarian hakikat dari sesuatu hal yang ada.

Simpulan:
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam, sungguh-sungguh, dan radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

C. Apakah Berfilsafat itu?
Berfilsafat berarti:
1.      ingin mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu;
2.      berendah hati bahwa tidak semua pengetahuan kita ketahui dalam kesemestaan yang tak terbatas ini;
3.      mengoreksi diri, berani berterus-terang seberapa jauh kebenaran yan dicari telah kita jangkau.

D. Cabang-cabang Filsafat:
1.      Logika                                                                    7. Pendidikan
2.      Etika                                                                      8. Hukum
3.      Estetika                                                                  9. Sejarah        
4.      Metafisika                                                           10.  Matematika
5.      Politik                                                                  11.  Bahasa
6.      Agama                                                                12.  Ilmu

E. Pengertian Bahasa
1. Aristoteles
Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia. Dengan kata lain, pikiran mempengaruhi bahasa karena pikiranlah maka bahasa itu ada.

2. Edward Sapir dan Benyamin L. Whorf (hipotesis Sapir-Whorf)
Bahasa ibu (native language) yang kita kuasai sejak kecil bertindak sebagai kisi-kisi dalam benak kita yang menghalangi pandangan kita dalam melihat dunia luar ketika kita menggunakan bahasa.

3. Leonard Bloomfield (pakar linguisik struktural)
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi.

4. Wilhelm von Humboldt (pakar bahasa dari Jerman pada abad ke-19)
Bahasa merupakan suatu sintesis (gabungan) bunyi sebagai bentuk luarnya dan pikiran sebagai bentuk dalamnya.


5. Avram Noam Chomsky (Aliran Trasnformasional)
a. Competence (kemampuan)
Setiap penutur suatu bahasa mempunyai kemampuan untuk menguasai kaidah gramatika bahasanya.
b. Performance (penampilan)
Wujud ujaran
c. Deep structure (struktur dalam/batin)
Struktur yang digambarkan dengan rumus-rumus yakni NP+VP (frase nomina+frase verba).
d. Surface structure (struktur permukaan/lahir)
Struktur yang diwujudkan ujaran.

6. Kridalaksana (1993:21) dan Depdikbud (1997:77)
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Dari batasan bahasa di atas ada lima butir yang penting, yaitu bahwa bahasa itu:
1).       manusiawi (human)
2).       dipelajari (non-instinctive)
3).       sistem (system)
4).       arbitrer (voluntarily produced)
5).       simbol/lambang (symbols)

1). Manusiawi
Hanya manusia yang memiliki sistem simbol untuk berkomunikasi. Makhluk lain, seperti binatang memang berkomunikasi dan mempunyai bunyi, tetapi sistem itu bukanlah kata-kata. Perkembangan bahasa inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena manusia diberi kelebihan dalam berpikir.

2). Dipelajari
            Manusia ketika dilahirkan tidak langsung mampu berbicara. Anak harus belajar berbahasa melalui lingkungannya, seperti orang tua.  

3). Sistem
            Bahasa memiliki seperangkat aturan. Perangkat inilah yang menentukan struktur (grammar) apa yang diucapkannya.

4). Arbitrer    
            Manusia mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu adalah secara kebetulan saja.  

5). Simbolik
            Bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti. Kita dapat menggunakan simbol-simbol ini untuk berkomunikasi sesama manusia karena manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan  keinginan. Dengan demikian,  manusia menerjemahkan orang lain atas acuan pada pengalaman diri sendiri. Misalnya, ketika orang lain mengatakan “Saya haus”. Pernyataan tersebut dapat dipahami karena kita pernah mengalami peristiwa haus.

7. Sapir (1921 via Alwasilah, 1985:7-8)
Bahasa adalah:
A purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbols.

F. Pengertian filsafat bahasa
1. Kaelan, 1998:6-7:
  • Bahasa sebagai sarana analisis para filsuf dalam memecahkan, memahami, dan menjelaskan konsep-konsep dan problem-problem filsafat. Dengan perkataan lain, bahasa digunakan sebagai alat analisis konsep-konsep dan masalah-maslah filsafat.
  • Salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan bahasa karena banyak masalah dan konsep filsafat yang hanya dapat dijelaskan melalui analisis bahasa sebab bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat.

2. Verhaar:
Filsafat bahasa mengandung dua makna yaitu:
(1) Filsafat mengenai bahasa
Bahasa dijadikan sebagai objek berfilsafat, seperti ilmu bahasa, psikolinguistik, sejarah asal-usul bahasa.
(2) Filsafat berdasarkan bahasa.
Bahasa dijadikan sebagai landasan atau acuan dalam berfilsafat. Bahasa dianggap sebagai alat yang dapat mengungkapkan gerak-gerik hati manusia, terutama ia berpikir, bagaimana pandangannya mengenai dunia dan manusia itu sendiri tanpa terlebih dahulu menyusun sistemnya. Dalam hal ini, menurut Verhaar bahasa mengandung dua pengertian; bahasa eksklusif yaitu bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai sebagai pedoman filsafat analitik dan bahasa inklusif yaitu bahasa musik, bahasa cinta, bahasa alam yang dijadikan arahan dalam hermeneutika.

3. Rizal Mustansyir:
Filsafat bahasa adalah penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang bermakna dan tidak bermakna.

4. Asep A. Hidayat:
Filsafat bahasa dalam pengertian sebagai ilmu adalah kumpulan dari hasil pemikiran filosof tentang hakikat bahasa yang disusun secara sisitematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Sedangkan pengertian filsafat bahasa sebagai sebuah metode adalah metode berfikir secara mendalam, logis, dan universal mengenai hakikat bahasa.

Pertanyaan Filosofis:
Seperti 'kebenaran', 'keadilan', 'kewajiban',  'kebaikan', dan sebagainya.

G. Perbedaan Filsafat Bahasa dengan Linguistik   
Perbedaan filsafat bahasa dengan linguistik adalah lingustik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Dengan perkataan lain, tujuan akhir dari linguistik adalah mendapatkan kejelasan tentang hakikat bahasa, sedangkan filsafat bahasa memandang kejelasan hakikat bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual (Poedjosoedarmo, 2001:2).

H. Perbedaan Filsafat Bahasa dengan Filsafat Ilmu Bahasa
            Sebelum melangkah lebih lanjut, alangkah baiknya perlu dibedakan istilah filsafat bahasa (the philosophy of language) dengan filsafat ilmu bahasa/linguistik (linguistic philosophy). Dalam buku The Philosophy of Language  (Searle, 1971: 1) pada bab pendahuluan dijelaskan bahwa:
Linguistic philosophy consists in the attempt to solve philosophical problems by analysing the meanings of words, and by analysing logical relations between words ini natural languages….The philosophy of language consists in the attempt to analyse certain general features of language such as meaning, reference, truth, verification, speech acts, and logical necessity.
Filsafat ilmu bahasa/kebahasaan berupaya untuk memecahkan  masalah-masalah filosofis dengan cara menganalisis makna kata dan hubungan logis antarkata di dalam bahasa.  Sementara itu, filsafat bahasa lebih menekankan pada analisis unsur-unsur umum dalam bahasa seperti makna, acuan (referensi), kebenaran, verifikasi, tindak tutur, dan ketidaknalaran.           

Hubungan antara simbol, konsep, dan acuan digambarkan sebagai berikut (Ogden dan Richards).

                                      referensi atau konsep/makna (thought reference/concept)



simbol/bentuk (symbol)                                                acuan (referent)
                                      meja                                                                                      


Contoh kajian filsafat ilmu bahasa:
“Mengapa sistem morfologi bahasa Arab berbeda dengan bahasa Indonesia?”

I. Tugas Filsafat Bahasa
1.      Bukan membuat pertanyaan tentang sesuatu yang khusus seperti filsafat-filsafat lain, tetapi memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa.
2.      Filsafat bahasa harus dapat menjelaskan "apa yang dapat dikatakan" dan "apa yang tidak dapat dikatakan"

K. Metode Filsafat Bahasa
  Metode filsafat bahasa adalah metode bertanya-kritis terhadap bahasa yang digunakan karena para filsuf analitik menganggap bahwa bahasa filsafat banyak kekaburan/kesamaran (vagueness), ketaksaan (ambuguity), ketidakeksplisitan (inexplicitness), bergantung pada konteks (dependence contex), dan menyesatkan (misleadingness). Hal itu berbanding terbalik dengan pendapat para linguis yang menyatakan bahwa kesamaran dan ketaksaan bahasa tersebut di samping sebagai kelemahan juga sebagai kelebihan bahasa karena bersifat multifungsi, yakni selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi emotif dan afektif.

Kelemahan-kelemahan Bahasa:
1). Vaguenes (kesamaran/kekaburan)
Makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan verbal tentang aneka warna bunga anggrek tidak akan setepat dan sejelas dengan pengamatan secara langsung tentang aneka bunga anggrek tersebut.
2). Ambiguity (ketaksaan)
Penggunaan sinonimi, hiponimi, homonimi, polisemi, dan homograf.
Contoh:
-          bisa (dapat/sanggup, racun)
-          apel (upacara, nama buah)
-          bunga (kembang, gadis)
-          orang tua (bapak-ibu, orang yang sudah tua)
3). Inexplicitness (tidak eksplisit)
Bahasa sering kali tidak mampu mengungkapkan secara eksak, tepat, dan menyeluruh dalam mewujudkan gagasan yang dipresentasikan.
4). Context dependent (bergantung pada konteks dan situasi)
Pemakaian suatu bentuk sering kali berubah maknanya sesuai dengan konteks gramatik, sosial, serta konteks situasional.
5). Misleadingness (menyesatkan)
Sehubungan dengan keberadaan bahasa dalam komunikasi tentu selalu dapat menimbulkan salah tafsir. Salah tafsir tersebut karena kekacauan semantik dan sirkular (berputar-putar)

L. Objek Filsafat Bahasa
1. Formal
    a. Ontologi (membahas tentang hakikat subtansi dan pola organiasi bahasa).
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
    b. Epistemologi (membahas tentang hakikat objek dan material bahasa)
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas, dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
c. Aksiologi (membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoretis dan kegunaan praktis bahasa).
Aksiologi meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.

2.      Material
        Bahasa sebagai objek materia filsafat karena filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri.

M. Aliran dalam Filsafat Bahasa
1.    Atomisme logis (logical atomism)
2.    Positivisme logis/empirisme logis (neo positivisme)
3.    Filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy)

N. Hubungan Filsafat dengan Bahasa
1.      Bahasa merupakan objek materi filsafat sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri.
2.      Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menanamkan kearifan dalam hidupnya, terutama dalam mencari dan menemukan hakikat realitas dari segala sesuatu, memiliki hubungan sangat erat dengan bahasa terutama bidang semantik.
3.      Dunia fakta dan realitas yang menjadi objek aktivitas filsafat adalah dunia simbolik yang hanya terwakili oleh bahasa.
4.      Ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan kefilsafatan hanya dapat dilakukan dengan bahasa
5.      Bahasa sebagai media pengembang refleksi filosofis

O. Hubungan Bahasa dengan Metafisika
Metafisika:
1.      suatu cabang filsafat yang membahas secara sistematis dan reflektif dalam mencari hakikat segala sesuatu yang ada di balik hal-hal yang bersifat fisik dan bersifat parikular.
2.      mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal yang ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada semua hal.


Pertanyaan fundamental para filsuf :
Apakah keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontradiksi, kebaikan, dan sebagainya.

Sembilan aksidensia Aristoteles:
1.      kuantitas: luas, bentuk, dan berat
2.      kualitas: sifat yang dapat indra
3.      aksi: perubahan (dinamika segala sesuatu yang ada dan yang mungkin terjadi)
4.      passi: penerimaan perubahan
5.      relasi: benda berhubungan dengan sesuatu yang lainnya
6.      tempat
7.      waktu
8.      keadaan: bagaimana sesuatu itu berada pada tempatnya.
9.      kedudukan: bagaimana sesuatu berada di samping sesuatu.

Plato:
"Manakala sejumlah orang menyebut kata yang sama, kita berasumsi bahwa mereka itu juga memikirkan ide yang sama."

Meinong, Filsuf Jerman pada akhir abad ke 19:
Setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referent (acuan). Kalau tidak, tutur itu tidak akan bermakna sehingga ada acuannya. Kalau benda acuan dapat dilihat di sekiar kita, maka tentulah benda itu ada dengan cara keberadaan yang lain.

P. Hubungan Bahasa dengan Logika
Logika adalah studi tentang inference (kesimpulan-kesimpulan). Logika berusaha menciptakan suatu kriteria guna memisahkan inferensi yang sahih dari yang tidak sahih. Karena penalaran itu terjadi dengan bahasa, maka analisis itu bergantung pada analisis statement-statement yang berbentuk premis dan konklusi. Studi tentang logika membukakan kenyataan bahwa sahih dan tidaknya inferensi itu bergantung pada wujud statement, yakni jenis istilah dan bagaimana istilah itu disusun menjadi statement.

Q. Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan yang menaruh perhatian kepada bahasa dalam beberapa aspek, terutama dalam masalah pengetahuan a priori, yakni pengetahuan yang dianggap sudah diketahui tanpa didasarkan pada pengalaman yang sudah dialami secara nyata.

R. Lingkup Filsafat Bahasa
1.                  Membahas filsafat analitik, baik menyangkut perkembangan maupun konsep-konsep dari para tokonya.
2.                  Penggunaan dan fungsi bahasa.
3.                  Teori makna dan dimensi-dimensi makna (semantik).