Rabu, 07 Oktober 2009

Analisis Materi Teks Bacaan

ANALISIS MATERI TEKS BACAAN
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
Oleh: Ening Herniti[1]

A. Pendahuluan
Buku teks pelajaran bahasa Indonesia merupakan media berinteraksi antara peserta didik dengan materi didik. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahan ajar seharusnya menggunakan bentuk kata, istilah, kalimat, dan paragraf yang sesuai dengan kaidah bahasa untuk berkomunikasi tertulis. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005, buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, serta potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
Pemilihan meteri berkaitan erat dengan perencanaan pengajaran secara menyeluruh. Untuk melakukan pemilihan materi itu perlu diketahui tujuan, tingkat, dan waktu yang tersedia. Tujuan mengacu kepada ketercapaian instruksional yang direncanakan; tingkat mengacu pada kesukaran dan kemudahan yang akan tersermin dalam aktivitas belajar bahasa yang sedang dipelajari; sedangkan waktu mengacu pada rentangan durasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan instruksional. Materi itu sendiri telah ada di dalam kurikulum. Misalnya, materi bahasa Indonesia yang terdapat dalam Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan 2006 yang menjadi acuan bagi pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

B.  Kemampuan Berbahasa  
Empat keterampilan berbahasa yang disajikan dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah meliputi keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Sebenarnya keterampilan tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu keterampilan yang bersifat menerima (reseptif) yang meliputi keterampilan menyimak dan membaca, serta keterampilan yang bersifat mengungkapkan (produktif) yang meliputi keterampilan menulis dan membaca (Muchlisoh, 1994: 119).
Kemampuan berbahasa seseorang belum tentu mencakup keempat kemampuan tersebut. Seandainya kemampuan berbahasa seseorang mencakup keempat kemampuan tersebut, tingkat kemampuan tiap-tiap aspek tidaklah sama. Seseorang mungkin mampu mendengarkan atau membaca dengan baik, tetapi kurang mampu berbicara dan menulis dengan baik. Kemampuan reseptif seseorang pada umumnya lebih tinggi daripada kemampuan produktif.
Pembelajaran membaca di SD/MI dilaksanakan sesuai dengan pembedaan atas kelas-kelas awal dan kelas-kelas tinggi. Pelajaran membaca dan menulis di kelas-kelas awal disebut pelajaran membaca dan menulis permulaan, sedangkan di kelas-kelas tinggi disebut pelajaran membaca dan menulis lanjut. Pelaksanaan membaca permulaan di kelas I SD/MI dilakukan dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu kalimat, sedangkan membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan menggunakan buku sebagai bahan pelajaran. (Sri Nuryati, 2007:1-2)


C. Analisis Materi Teks Bacaan
Menurut Badudu (1993: 131) pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di SD–SMU, guru terlalu banyak menyuapi. Siswa kurang dilatih untuk aktif membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Salah satu kesulitan yang dihadapi guru ialah menemukan bahan pelajaran yang cocok bagi para anak didiknya. Kadang-kadang bahan bacaan itu tidak cocok karena kosa katanya, kadang-kadang pula karena struktur kalimat-kalimatnya, atau isinya. Salah satu tugas guru baca yang luar biasa sukarnya ialah menemukan bahan bacaan yang menarik bagi anak-anak yang duduk di kelas-kelas permulaan. Anak-anak yang berasal dari lingkungan yang belum mengenal bahasa Indonesia dengan baik pun merupakan pembawa masalah yang tidak mudah. Mereka memerlukan bahan pelajaran yang secara serempak bisa mengembangkan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Muchlisoh, 1994:199).
Pembelajaran membaca permulaan di SD/MI mempunyai nilai yang strategis bagi pengembangan kepribadian dan kemampuan siswa. Pengembangan kepribadian dapat ditanamkan melalui materi teks bacaan (wacana, kalimat, kata, suku kata, huruf/bunyi bahasa) yang berisi pesan moral, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai emosional-spiritual, dan berbagai pesan lainnya sebagai dasar pembentuk kepribadian yang baik pada siswa. Demikian pula dengan pengembangan kemampuan juga dapat diajarkan secara terpadu melalui materi teks bacaan yang berisi berbagai pengetahuan dan pengalaman baru yang pada akhirnya dapat berimplikasi pada pengembangan kemampuan siswa.
Dalam buku teks bahasa Indonesia SD/MI terdapat pesan yang diterima oleh setiap siswa dengan makna yang bisa sama, bisa berbeda. Diperlukan kajian yang lebih cermat agar setiap pesan yang termuat dalam buku teks dapat benar-benar sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional. Teks bacaan pelajaran bahasa Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah variatif bergantung pada terbitan mana buku pelajaran tersebut dipakai. Jika dibandingkan dengan buku teks tahun 80-an, buku teks sekarang lebih beragam. Misalnya, pemakaian nama tokoh Budi dalam buku teks tahun 80-an  mengandung filosofi agar siswa tidak hanya pandai, tetapi juga berbudi pekerti luhur. Buku teks terbitan Yudistira memakai nama tokoh Rima. Rima diambil dari istilah sastra rima yang berarti ‘bunyi yang sama atau hampir sama yang terdapat pada awal, tengah, dan akhir kata’. Rima inilah yang membuat sajak menjadi lebih indah. Unsur keselarasan dan keindahan itulah yang menjadi filosofi agar siswa dapat berbahasa dan berkomunikasi secara baik, benar, dan indah. Berbeda lagi dengan buku teks terbitan Erlangga yang memilih nama tokoh Dimas.
Kata sapaan yang dipakai sangatlah beragam. Guru hendaknya menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut. Beberapa contoh pemakaian kata sapaan.
  1. Ibu saya Bu Sinta.
  2. Ini Mama Ila.
  3. Ayah saya Pak Bani.
  4. Ini Papa Opi.
  5. Kakak saya Popi.
  6. Abang saya Ali.
  7. Nenek tinggal di desa.
  8. Ini Oma Lili.
Kata Sapaan
Sinonim
Pemakaian
Mama
Ibu
Kata sapaan Mama bisanya dipakai oleh masyarakat yang berkelas sosial tinggi. Kata sapaan Ibu lebih netral.
Papa
Ayah, Bapak
Kata sapaan Papa bisanya dipakai oleh masyarakat yang berkelas sosial tinggi. Kata sapaan Ayah lebih netral.
Abang
Kakak
Kata sapaan Abang lazim dipakai oleh penutur yang berasal dari Betawi, Bangka atau wilayah sekitarnya. Kata sapaan Kakak lebih netral.
Oma
Nenek
Kata sapaan Papa bisanya dipakai oleh masyarakat yang berkelas sosial tinggi. Kata sapaan Nenek lebih netral.

Pertanyaannya adalah mengapa kata sapaan mas dan mbak tidak muncul dalam buku teks? Kata sapaan mama, papa, dan opa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia termasuk ragam cakapan yang lazimnya kata itu dipergunakan dalam ragam nonbaku. Bukankah buku teks pelajaran bahasa Indonesia seharusnya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku?
Kesatuan bahasa yang diucapkan atau tertulis panjang atau pendek dinamakan teks atau discourse. Teks adalah satu kesatuan semantik dan bukan kesatuan gramatikal (Lubis, 1991:21). Artinya, kesatuan bukan bentuknya (morfem, klausa, dan kalimat), tetapi kesatuan artinya. Teks-teks dalam buku pelajaran bahasa Indonesia merupakan sarana yang strategis untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Berikut adalah cuplikan teks dari buku pelajaran bahasa Indonesia kelas III pelajaran 14.
Komputer Ayahku
            Sejak Ayah meninggal, aku benci sekali dengan komputer Ayah itu. Padahal sebelumnya aku senang menggunakannya. Ya, bagaimana tidak benci? Ayahku meninggal justru karena komputer itu. Beliau sampai merelakan nyawanya karena mempertahankan disket rahasia kantornya.
            …………………………………………………………………………dst.
           
            Paragraf di atas seolah-olah menyiratkan bahwa komputerlah yang membunuh ayah si tokoh dalam teks di atas. Si tokoh melemparkan kekecewaan atas meninggal ayahnya pada komputer. Cerita tersebut mirip dengan ajaran para orang tua ketika anaknya jatuh. Orang tua atau pengasuh akan mengatakan, “batunya nakal ya” sambil memukul batu yang tidak bersalah. Secara tidak sadar sebenarnya orang tua telah mengajarkan bahwa jika terjadi sesuatu pada anaknya, orang lainlah yang salah. Mencari kambing hitam ternyata tanpa disadari telah ditanamkan sejak dini.
Seorang guru hendaknya tidak hanya meminta siswa membaca, tetapi juga menjelaskan bahwa bukan karena komputer itu yang membuat ayah si tokoh meninggal dunia. Jika tidak, pesan moralitas itu tidak sampai kepada siswa. Secara psikologis, anak usia kelas III SD/MI belum dapat memahami pesan dalam sebuah teks. Namun hal itu menyisakan pertanyaan. Cukupkah waktu kurang lebih satu untuk membaca, menjelaskan isi teks, menjawab pertanyaan, mengerjakan tugas meringkas, dan menceritakan kembali isi cerita tersebut?
               Teks bacaan bahasa Indonesia untuk SD/MI sebenarnya berkaitan dengan pelajaran lain seperti sejarah (Sultan Hasanudin, asal mula Salatiga, Bangsa Penemu Sabun), IPS (Reog Ponorogo), tetapi mengapa hampir tidak berintegrasi dengan pelajaran agama? Cerita dari entah berantah justru muncul seperti cerita Keledai dan Unta, Sekolah Peri Biru, dan sebagainya. Mengapa anak banyak diberi cerita fiktif daripada kisah nyata? Nama Mickel Jackson saja muncul dalam teks bacaan, tetapi mengapa nama-nama pahlawan kita justru sepi dari buku teks bahasa Indonesia? Jika hal itu terus berlanjut, siswa akan semakin asing dari cerita nyata dan keberanian para pahlawan. 
             
           
D. Penutup
Buku teks merupakan sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan dan ideologi tertentu. Seorang guru haruslah cermat dalam menjelaskan isi teks karena tidak semua siswa dapat memahami kandungan teks tersebut. Guru hendaknya dapat mengelola waktu dengan baik agar siswa tidak hanya mampu menyimak dengan baik, dapat bercerita, lancar membaca, dan dapat menuangkan gagasan dalam bahasa tulis, tetapi juga dapat menyerap pesan-pesan yang disampaikan dalam teks. 
Referensi
Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Lubis, Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Muchlisoh. 1992. Materi Pokok Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud

Sri Nuryati. 2007. Pembelajaran Membaca Permulaan Melalui Permainan Bahasa di Kelas Awal Sekolah Dasar. Jurnal Sekolah Dasar, (Online), (http://www. Google.com, diakses 26 Oktober 2009).

Suherli. 2008. Bahasa Indonesia dalam Kajian Keterbacaan”. (http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/bahasa-indonesia-dalam-kajian.html, diakses   26 Oktober 2009).


[1] Dosen  Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Rabu, 05 Agustus 2009

Analisis Materi dan Strategi Pembelajaran Menulis

Analisis Materi dan Strategi Pembelajaran Kemampuan Menulis
Oleh: Ening  Herniti[*]

A. Pendahuluan
          Pendekatan pembelajaran dalam kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola hasil belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu pada bagaimana siswa belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Depdiknas, 2004).
          Sejalan dengan tuntutan tersebut, mengharuskan setiap praktisi pendidikan, dalam hal ini guru terus berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan strategi pembelajaran, sehingga kemampuan dasar yang distandarkan dalam kurikulum dapat tertanam baik dan menjadi cikal bakal pengembangan potensi pada diri setiap individu siswa.
Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Keterampilan ini berkaitan dengan keterampilan lain, yakni membaca. Dalam kurikulum, keterampilan ini bisa diwujudkan dalam bentuk materi menulis. Sebagaimana materi lainnya, materi ini pun seharusnya disajikan secara bertahap. Karena menulis merupakan keterampilan lanjutan yang cukup kompleks, materi yang diajarkan sebelumnya harus benar-benar dipahami dahulu oleh siswa mengingat materi tersebut menjadi prasyarat, misalnya menyusun kalimat. Metode dan teknik mengajar yang tepat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang baik terhadap materi ini.

B. Menulis Kreatif
Menulis bukan pekerjaan yang sulit, melainkan juga tidak mudah. Menulis merupakan keterampilan yang mensyaratkan penguasaan bahasa yang baik. Dalam belajar bahasa, menulis merupakan kemahiran tingkat lanjut. Pengajaran menulis merupakan dasar untuk keterampilan menulis. Agar mahir menulis, siswa harus menguasai kaidah tata tulis, yakni ejaan, dan kaidah tata bahasa, morfologi, dan sintaksis. Di samping itu, penguasaan kosakata yang banyak sangat diperlukan. Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 128), keterampilan menulis berhubungan erat dengan membaca. Semakin banyak siswa membaca, cenderung semakin lancar ia menulis.
Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
David Nunan (1991: 86-90) dalam bukunya Language Teaching Methodology menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis. Konsep tersebut yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis,  (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi.
          Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan.
          Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
          Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (pemula). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses menulis itu sendiri.
          Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara proses dan produk menulis.
Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para siswa yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122).
          Agak berbeda dengan David Nunan, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap tahap-tahap proses menulis, yaitu: (1) pramenulis, (2) membuat draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti berikut.

1.Tahap Pramenulis
          Pada tahap pramenulis, siswa melakukan kegiatan sebagai berikut:
  1. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri;
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis;
  3. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis;
  4. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis;
  5. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan.
2. Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh siswa pada tahap ini adalah sebagai berikut:
  1. Membuat draft kasar;
  2. Lebih menekankan isi daripada tata tulis.

3. Tahap Merevisi
          Yang perlu dilakukan oleh siswa pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok);
  2. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas;
  3. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar, baik dari pengajar maupun teman;
  4. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya sehingga menghasilkan draft akhir.

4. Tahap Menyunting
          Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh siswa adalah sebagai berikut:
  1. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri;
  2. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok;
  3. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis mereka sendiri.
Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan tulisan untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105—106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat.
          Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
          Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
          Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa.
          Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
          Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi, penjelasan, keterangan, atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
          Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, membuktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini, wacana, gagasan, atau pendapat.
          Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
          Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
          Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.

5. Tahap Berbagi
          Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, siswa:
  1. Memublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
  2. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan siswa dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para siswa membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.

C. Strategi Pembelajaran Kemampuan Menulis
Pembelajaran bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai pendekatan, strategi, metode, dan media pembelajaran bahasa Indonesia yang inovatif dan variatif mulai diterapkan para guru bahasa Indonesia. Tujuan adanya perubahan pola pembelajaran tersebut adalah dalam rangka pencapaian kompetensi siswa dalam bidang-bidang tertentu. Penguasaan keterampilan dalam bidang bahasa Indonesia juga turut mendapatkan perhatian. Keterampilan berbahasa bukan lagi hanya untuk diketahui, melainkan untuk dikuasai oleh siswa.
Keterampilan berbahasa memiliki empat komponen yang saling memengaruhi. Keempat keterampilan berbahasa tersebut adalah mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis (Tarigan 1982:1). Salah satu keterampilan berbahasa yang paling sulit penguasaannya adalah keterampilan menulis  karena  menulis  adalah kegiatan yang  menuntut adanya latihan dan membutuhkan  ketelitian   serta  kecerdasan.   Kegiatan menulis sangat memerlukan pengetahuan yang luas dan pola pikir yang logis. Pengetahuan yang luas tidak terlepas dari kegiatan membaca, maka kegiatan menulis harus diimbangi dengan kegiatan membaca. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa siswa cenderung menyukai hal-hal yang bersifat praktis dan instan. Kenyataan tersebut menjadi kendala bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan menulis secara maksimal. Oleh karena itu, agar siswa menyadari bahwa segala sesuatu yang berhasil baik harus melalui proses dan tahapan, maka kegiatan pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat. Kegiatan menulis harus dilakukan dengan latihan rutin dan terus-menerus karena penguasaan keterampilan menulis sangat bermanfaat bagi siswa untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan dapat  menjadi  bekal keterampilan  hidup  bersosialisasi  di  masyarakat  dan menjawab tantangan masa depan.
Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah agar siswa menjadi anak yang kritis, kreatif, dan inovatif, tetapi sampai kini seolah hanya “cita-cita”. Kreativitas merupakan peluang untuk berbuat dan berpikir secara berbeda, tetapi tetap harus ada rasa aman dan kebebasan secara psikologis.
Untuk menjadi guru kreatif tidaklah semudah membalikkan tangan. Guru kreatif memang tidak dapat dikloning. Tidak ada metode atau resep tunggal untuk menjadi guru kreatif. Namun, guru kreatif hanya akan muncul apabila ada lingkungan untuk mendorong kelahirannya. Guru memang harus menguasai komunikasi, kemampuan mengeksplorasi mata pelajaran, dan bisa menarik perhatian anak. Guru harus memiliki strategi pembelajaran yang tepat untuk menarik minat menulis siswa. Sesekali siswa cobalah diajak menonton film pendidikan seperti Denias atau Laskar Pelangi. Setelah menonton, siswa diminta untuk menceritakan kembali dalam bahasa tulis. Agar siswa tidak mengalami kebosanan, kegiatan menulis juga dapat dilakukan di ruang kelas, misalnya di taman sekolah.
Menulis teks berita merupakan salah satu kompetensi berbahasa dan bersastra kurikulum 2006 kelas VIII SMP mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Dari pembelajaran tersebut, siswa diharapkan mampu menulis berita secara singkat, padat, dan jelas. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, siswa mengalami kesulitan saat ditugasi oleh guru untuk menulis teks berita. Permasalahan yang dihadapi siswa tersebut disebabkan kurang maksimalnya pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru selama ini, sehingga hasil yang dicapai oleh siswa juga kurang maksimal. Strategi OTTL merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis teks berita. Strategi OTTL ini merupakan suatu strategi yang di dalamnya menggambarkan proses dalam mendapatkan berita mulai pengamatan mengenai objek berita sampai dengan menghasilkan sebuah berita yang berupa teks berita. Kegiatan tersebut mulai dari (1) ) O, adalah observasi (2) T, adalah tanya, (3) T, adalah tulis dan (4) L, adalah laporkan (Agustina: 2007).
Wacana narasi adalah salah satu bentuk wacana yang harus dikenalkan kepada siswa mulai kelas VII sampai dengan kelas IX. Standar kompetensi yang diharapkan di kelas VII adalah berkomunikasi secara lisan dan tertulis dengan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan lancar dan akurat dalam wacana monolog pendek berbentuk narasi sederhana. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang diharapkan akan membantu pemahaman konsep wacana narasi bagi siswa kelas VII. Meier menawarkan prinsip pendekatan pembelajaran akselerasi yang mementingkan keluwesan, menyenangkan, mementingkan tujuan, manusiawi, bekerja sama, mengasuh, mementingkan aktivitas, multiindrawi, dan menggunakan ragam metode dan media (Meier, 2002) sebagai landasan dalam mendisain sebuah strategi.
Pendekatan pembelajaran menulis ada dua, yaitu pendekatan tradisional dan proses. Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih menekankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Siswa berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam menghasilkan tulisan. Peran guru dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para siswa, tetapi juga membimbing siswa dalam proses menulis (Tompkins, 1990: 69).
          Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.

Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis

No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
1
Pilihan Topik
Tugas menulis kreatif yang spesifik diberikan oleh guru.
Siswa memilih topik sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain.
2
Pembelajaran
Guru hanya sedikit atau tidak memberikan pelajaran.
Siswa diharapkan menulis sebaik-baiknya.
Guru mengajar siswa mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan.
3
Fokus
Berfokus pada tulisan yang sudah jadi.
Berfokus pada proses yang digunakan siswa ketika menulis.
4
Rasa Memiliki
Siswa menulis untuk guru dan kurang merasa memiliki  tulisan sendiri.
siswa merasa memiliki tulisan sendiri.

5
Pembaca
Guru merupakan pembaca utama.
Siswa menulis untuk pembaca yang sesungguhnya.
6
Kerja Sama
Hanya sedikit atau tidak ada kerja sama.
Siswa menulis dengan bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan teman-teman satu kelompok/kelas.
7
Draft
Siswa menulis draft tunggal dan harus memusatkan pada isi sekaligus segi mekanik (ejaan, tanda baca, tata tulis).
Siswa menulis draft kasar (outline) untuk menuangkan gagasan dan kemudian merevisi dan menyunting draft ini sebelum membuat hasil akhir.
8
Kesalahan Mekanik
Siswa dituntut untuk menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan.
Siswa mengoreksi kesalahan sebanyak-banyaknya selama menyunting, tetapi tekanannya lebih besar pada isi daripada segi mekanik.
9
Peran Pengajar
Guru memberikan tugas menulis dan menilainya jika tulisan sudah jadi.
Guru mengajarkan cara menulis dan memberikan balikan selama siswa merevisi dan mengedit/menyunting.
10
Waktu
Siswa menyelesaikan tulisan dalam satu jam pelajaran.
Siswa mungkin menghabiskan waktu tidak hanya satu jam pelajaran untuk mengerjakan setiap tugas menulis.
11
Evaluasi
Guru mengevaluasi kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun.
Guru memberikan balikan selama siswa menulis, sehingga siswa dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.
           
          Dari kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan tradisional, guru memberikan topik tulisan dan setelah siswa mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), guru mengumpulkan pekerjaan siswa untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit siswa yang dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar siswa biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik.
         
D. Penutup
Dari empat keterampilan berbahasa, keterampilan berbahasa yang paling sulit penguasaannya adalah keterampilan menulis  karena  menulis adalah kegiatan yang  menuntut adanya latihan dan membutuhkan  ketelitian   serta  kecerdasan.   Kegiatan menulis sangat memerlukan pengetahuan yang luas dan pola pikir yang logis. Menulis merupakan keterampilan lanjutan yang cukup kompleks, materi yang diajarkan sebelumnya harus benar-benar dipahami dahulu oleh siswa.
Metode dan teknik mengajar yang tepat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang baik terhadap materi ini. Kegiatan menulis harus dilakukan dengan latihan rutin dan terus-menerus karena penguasaan keterampilan menulis sangat bermanfaat bagi siswa untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan dapat  menjadi  bekal keterampilan hidup  bersosialisasi  di  masyarakat  dan menjawab tantangan masa depan.



Daftar Pustaka
Agustina, Lina. 2007. “Peningkatan Keterampilan Menulis Teks Berita dengan Menggunakan Strategi OTTL(Observasi, Tanya, Tulis, dan Laporkan) Siswa Kelas VIII SMPN 16 Malang”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Politik Bahasa dan Pendidikan. Cet. II. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Azies, Furqanul dan Alwasilah, A. Chaedar. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Cet. I. Bandung: Remaja Rosdakarya. Semi, M. Atar. 1995. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Bandung: Mugantara.

Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Flores: Nusa Indah.

Kurniawan, Khaerudin. “Model Pengajaran Menulis Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Lanjut”. http://www.google.co.id/. Akses 12 November 2009.

McCrimmon, James M. 1967. Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.

Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning. Hand Book. Kaifa.
Nunan, David.1991. Language Teaching Methodology. New York: Prentice Hall.

Rifai, Mien A. 1997. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.  Bandung: Angkasa.

Tompkins, Gail E. 1990. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company.







[*] Dosen  Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Rabu, 04 Februari 2009

Pendahuluan Filsafat Bahasa

Filsafat Bahasa 
Oleh: Ening Herniti
 

Filsafat bahasa hadir dalam dunia filsafat merupakan pendatang baru. Filsafat bahasa mulai berkembang sekitar abad XX setelah kemunculan linguistik modern yang dipelopori oleh tokoh linguistik strukturalis, Mongin Ferdinand de Saussure (1857-1913). Sebenarnya perhatian para filsuf terhadap bahasa telah berlangsung lama, yakni sejak zaman prasocrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Namun, dalam perjalanan sejarah aksentuasi (titik tekan) perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat bergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan bahasa karena banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat yang hanya dapat dijelaskan melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat. 
Filsafat bahasa merupakan studi filsafati berdasarkan nilai apriori atau aposteriori dari bahasa dan bagaimana bahasa itu dijadikan sebagai alat komunikasi. Filsafat bahasa sebagai studi analisis filsafati, pemaknaan bersifat objektif dan subjektif. Bersifat objektif, apabila makna yang diungkap merupakan makna yang dikandung secara leksikal/denotasi dalam sebuah wacana lisan atau tulisan. Bersifat subjektif, apabila makna yang diungkap ada dalam mata si pembaca dan merupakan makna kontekstual, yaitu apa yang ada di balik makna kata tersebut/konteks.